Foto diunggah dari : oaa-microsystem06.blogspot.com
Ada seorang anak laki-laki berumur 8 tahun, pakaiannya lusuh, badannya kotor dan ia terlihat tegang dengan kepalan kedua tangan yang sesekali merenggang gemetaran. Matanya melirik ke segala sudut toko yang bisa ia jangkau. Berulangkali ia membasahi bibir dengan lidah kecilnya dan kemudian ....
*blaaasstt*
Secepat kilat dia mengambil sesuatu yang terletak di sebuah rak. Ia pun
melangkah keluar toko, memegang erat sesuatu di dalam kepalan tangannya yang didekapkan ke perut, bergegas ingin pergi, tetapi ...
"Hey, apa yang kamu lakukan?" Teriak seorang wanita paruh baya sembari
memegang tangan anak laki-laki tersebut dengan gesit.
Anak laki-laki tersebut diam, menundukkan kepala.
"Oh, kamu mau mencuri di toko ku ya" lanjutnya, suaranya menggema keras,
menampakkan nada marah di tengah-tengah suara hujan yang deras.
"Dasar gelandangan, dari kecil saja sudah mencuri, bagaimana jika kamu
nanti tumbuh besar?" Bentaknya, lalu wanita itu menyeret anak laki-laki
tersebut keluar toko dengan kasar, menghilangkan keramaian pasar dengan
aksinya. Suaranya masih saja berkicau layaknya sedang dilanda perampokan
besar.
"Pergi sana, jangan pernah aku melihatmu lagi berkeliaran di sekitar
sini, jika kamu tidak ingin aku pukul !" ancamnya.
Di seberang toko, berjalanlah pak Tono menghampiri anak laki-laki
tersebut. Ia berjongkok membalikkan badan anak laki-laki itu, di depan
pemilik toko yang belum juga berhenti mengumpat.
"Apa yang kamu curi?" Tanya pak Tono. Anak laki-laki itu hanya diam,
masih menunduk. Lantas pak Tono melihat apa yang dipegang pemilik toko,
dan mengeluarkan beberapa lembar uang.
"Ambillah, ini untuk obat yang dia curi" kata pak Tono dengan disambut
oleh tangan pemilik toko.
"Apakah orangtua mu sakit?" Tanya pak Tono, lagi, kepada anak laki-laki
itu. Tapi hanya keramaian pasar dan ribuan tetesan hujan yang menjawab
silih berganti.
Kemudian pak Tono, berteriak ke arah warungnya dan meminta anak
perempuannya, yang nampak lebih muda dari anak laki-laki tersebut, untuk membungkus
sebuah sup panas jualannya. Si anakpun menurut dan memberikannya pada
ayahnya, pak Tono.
"Ini nak, ambillah. Kamu tidak perlu mencuri." Ucap pak Tono dengan
lembut, menyodorkan sebungkus sup panas dan beberapa keping obat yang
sudah ditebus dari pemilik toko. Anak laki-laki itu masih aja bungkam,
suaranya tidak bergeming tetapi kepalanya menatap ke arah pak Tono,
beralih ke tangan dan mengambil bungkusan tersebut dengan cepat seraya
memutar badannya. Ia berlari dengan kecang di tengah-tengah hujan yang
membasahi pasar. Aktivitas disana pun kembali seperti biasanya, hingga
beberapa tahun terlewati.
Anak gadis pak Tono pun tumbuh dewasa, seiring merentanya tubuh pak
Tono.
Aktivitas mereka tetap sama, berjualan sup di pasar. Ketika lapak
penghasil rupiah pak Tono sedang ramai, seperti biasa pak Tono dengan
lincah melayani tamu-tamunya, dan ...
*praaangg, braaakkk*
Kelincahan itu hilang, kaku. Pak Tono sudah jatuh tidak bergerak di
lantai. Usianya sudah tidak bersahabat dengan tekad kuatnya untuk bekerja. Ia pun
dilarikan ke rumah sakit oleh sang anak, dibantu orang sekitar.
Di rumah sakit, sang anak menanti dengan was-was. Ia berjalan mondar
mandir, seperti setrika yang panas akan penantian 'apa yang terjadi dengan
ayahku'.
Decit pintu memecah kegelisahannya, sang anak menghampiri
dokter yang keluar dari ruang pemeriksaan tempat pak Tono terbaring.
Betapa kaget bukan kepalang, ketika sang anak mendengar apa yang terjadi
pada ayahnya. Jatuh pingsan pak Tono tidak membuatnya risau, karena
hanya disebabkan kelelahan bekerja, tapi ...
"Apakah itu benar dok? Ayah saya menderita kanker? Astaghfirullah ya Allah ..." isak sang
anak.
Sembari menenangkan sang anak, dokter menyarankan untuk dilakukan
operasi untuk mencegah penyebaran kanker, untuk dapat memulihkan kembali
ayahnya.
"Operasi? Uang dari mana?!" Gumam sang anak dalam hati. Ia pun lemas,
tidak hanya karena penyakit pak Tono, tapi juga masalah pembayaran untuk
operasi. Ia ingin ayahnya sembuh, tapi bagaimana? Tabungannya tidak mungkin
cukup, bahkan kalau harus menjual rumah sepetaknya pun, apakah sanggup
untuk membiayai operasi dan pengobatan ayahnya.
Setelah mempertimbangkan dengan matang, sang anak setuju untuk
mengoperasi pak Tono, bagaimana pun caranya, ia yakin Tuhan pasti akan
menolongnya, bahkan jika ia harus menjual seluruh harta yang dimilikinya.
Pak Tono pun dibawa ke ruang operasi, dokter sudah bersiap, melakukan
yang terbaik untuk pasiennya.
Operasi memakan waktu 6 jam, dokter memberitahu sang anak bahwa operasi
berjalan lancar dan ayahnya dapat disembuhkan, lalu dokter pun kembali
ke ruangannya. Ketika hendak duduk, seseorang mengetok pintu, dan masuklah ia tanpa komando dari dokter.
"Dok, berapakah biaya yang harus saya bayar, untuk seluruh pengobatan
ayah saya hingga sembuh? Saya sudah menyiapkan surat tanah dan rumah,
toko dan saya bersedia untuk menjual organ dalam saya jika memang masih
kurang." Katanya, anak pak Tono. Dokter hanya diam, terpaku melihat sang
gadis yang sangat menyayangi ayahnya.
Selang dua hari, sang anak masih setia menemani ayahnya yang tertidur di
atas ranjang rumah sakit, sang anak juga pulas tidur, duduk di sebuah
kursi, meletakkan kepalanya di atas sisi ranjang sambil memegang kuat
tangan pak Tono. Ketika sang anak membuka mata, dia menemukan sebuah
amplop tagihan dari rumah sakit. Hatinya berdegub kencang, semakin
kencang, ia tidak tau harus membukanya atau tidak, tangannya gemetar,
matanya mulai sembab. Ia tidak sanggup jika harus melihat angka-angka di
dalam amplop tagihan itu.
Perlahan, ia membuka surat itu, betapa herannya ia ketika membaca
selembar kertas yang berisi :
"Tagihan operasi, obat dan biaya-biaya lainnya atas nama pak Tono sudah
dibayar lunas sejak 20 tahun yang lalu dengan sebungkus sup dan obat. Tertanda : dr. Slamet Prihambudi"
... dan air mata pun membanjiri wajah cantik sang gadis, anak pak Tono.
-end of story-
Writen by Adetya M. Setiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar