Like Us

Senin, 20 Oktober 2014

Diriku, Aku Rindu Ibu, Aku Kangen Ayah

Pernah gak sih kalian merindukan ibu dan ayah kalian? Rindu serindu-rindunya, kangen yang tidak bisa diungkapkan dengan kalimat? Ya, rindu itu hadir karena kita jauh dari mereka, bukan terbatas pada jarak, tapi juga bisa disebabkan oleh masalah-masalah ego yang kecil namun membesar tanpa pernah menguap.

Aku membaca buku "Ayahku (Bukan) Pembohong" karya Tere Liye, salah satu penulis favoritku dan baru sampai di chapter 14, Perpustakaan Sekolah. Aku terinspirasi untuk menulis sesuatu tentang rasa rindu terhadap kedua orang tuaku. Di buku tersebut pada chapter 13, Akademi Gajah, menceritakan Dam yang baru pulang dari sekolah berasrama yang jauh dari kota asalnya ke rumah dan berlibur di rumah, berkumpul bersama ayah dan ibunya. Hari-hari pertama Dam yang merindukan segala hal tentang kehidupan lamanya di rumah itulah yang membuat aku tersentuh, oh iya bener juga, aku melupakan hal-hal kecil itu, dan hadirlah tulisanku ini. Walaupun tulisan ini seadanya, setidaknya aku bisa bercerita dan berbagi buat kalian yang mau membacanya. Hehehe.

Oya, di lain kesempatan, aku akan mencoba untuk menulis resensi tentang buku Tere Liye, dua buku lain sudah aku selesaikan membacanya, yaitu Negeri Para Bedebah dan sekuelnya Negeri Di Ujung Tanduk. Nah, kalau yang masih dalam tahap pembacaan sekarang itu adalah buku Tere Liye yang seperti aku sudah jelaskan di paragraf sebelumnya. Hehehe. Ditunggu ya, soalnya karya Tere Liye itu luar biasa, jaminan bagus banget.

Back to topic deh ya, Aku tersentak loh ketika membaca tulisan dalam buku "Ayahku (Bukan) Pembohong" yang isinya :

"Maka tiga tahun melesat cepat. Aku kehilangan klub renangku - kudengar salah satu senior kami lolos ke final Olimpiade, meski gagal mendapatkan medali. Aku juga kehilangan malam-malam bersama Ibu, memijat lengannya. Aku kehilangan kesibukan menjadi loper koran, mengerjakan tugas-tugas rumah. Aku kehilangan teman-teman lamaku, kenalanku di jalanan kota, sepeda bututku, poster-poster sang Kapten di kamar, angkutan umum, dan di atas segalanya, aku kehilangan cerita-cerita Ayah yang menyenangkan. Cerita-cerita Ayah yang bisa memunculkan rasa tenteram, mengusir rasa sedih."

Yah, bagaimana enggak tersentak, aku lahir di lingkungan keluarga yang bekerja keras. Sejak aku kecil masih bersekolah TK besar di TK Jambu Hilir Kandangan, mama sudah mengajar sebagai guru SD dengan jarak tempuh yang sangat jauh, mama menyusuri puluhan kilometer jalan, membelah sungai besar dan panjang untuk menuju sekolah tempat mengajar di SDN Hakurung Dalam, Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Mama pulang seminggu sekali ke rumah, dan papa sering mengunjungi mama setelah berdagang di pasar sejak subuh hingga menjelang magrib.

Jujur saja, waktu ku bersama mama dan papa itu sedikit karena mereka bekerja dengan keras untuk mengubah nasib, agar kami, anak-anaknya bisa hidup layak seperti orang banyak, supaya mereka mampu memenuhi segala rengekan kami. Aku lahir sebagai anak pertama, aku menyaksikan bagaimana perjuangan hebat mereka. Sejak aku mengenal ditinggal pergi untuk bekerja, aku juga mengenal kata "mandiri".

Selepas aku SD, aku disekolahkan di Pondok Pesantren Ibnu Mas'ud Putra Jarau. Saat itu ibuku sudah pindah sekolah dan mengajar di SDN Ganda yang lebih dekat dengan rumah. Tanpa sepatah kata, tanpa penolakan aku setuju sekolah di sana. Santri hanya diijinkan pulang sebulan sekali, dan hanya pada hari Jumat saja karena libur sekolah kami hanya hari Jumat. Minggu? Kami tetap bersekolah.

Kadang seminggu atau dua minggu sekali, mama dan papa menjenguk ke Pondok. Kadang aku juga pulang ke rumah, menginap dan diantar pagi hari Sabtu pukul 06.30 WITA agar aku tidak terlambat masuk sekolah dan agar aku menginap di rumah, melepas kangen dengan mama dan papa. Jika aku ingin pulang ke rumah, aku berangkat dengan menaiki angkutan umum, tetapi sebelumnya kami harus berjalan dulu 800 meter untuk menuju jalan utama dimana angkutan umum lewat.

Selepas SMP selama 3 tahun di Ibnu Mas'ud Putra, aku diminta untuk memilih ingin bersekolah di Pondok Pesantren Gontor atau sekolah lain di Yogyakarta. Aku tidak berpikir akan meninggalkan mereka hanya untuk menuntut ilmu, tapi inilah yang direncanakan kedua orang tua ku, mereka sangat menyayangi kami, mereka ingin kami mendapatkan pendidikan yang tinggi dan layak. Aku pun diminta solat istikharah, dan akhirnya menetapkan untuk memilih sekolah di Yogyakarta.

Selama menempuh sekolah di Yogyakarta, aku pulang setahun sekali yaitu pada saat Hari Raya Idul Fitri. Hanya pada saat itulah aku dapat melepas rindu, memeluk mereka, bercengkrama, menikmati waktu santai dan melakukan pekerjaan rumah seperti meyapu lantai, mengepel, juga mencuci piring dan gelas. Aku selalu bahagia jika pulang, tetapi selalu berat ketika harus kembali ke Yogyakarta, meninggalkan mereka yang aku sayangi.
Setelah 3 tahun aku menyelesaikan masa SMA, papa menjanjikan sesuatu, akan membelikan apa saja yang aku minta tetapi aku harus kuliah di Banjarmasin saja agar papa bisa menjengkukku lebih sering. Selama aku sekolah di Yogyakarta, papa dan mama tidak pernah dapat mengunjungiku. Entah pikiran dan bujukan dari mana datangnya, aku memilih untuk tetap melanjutkan studi di Yogyakarta. Hingga saat ini, aku tidak tau apakah ini keputusan tepat atau tidak. Karna jujur saja, hanya papa yang menangis di bandara ketika pertama kali aku akan pergi ke Yogyakarta pada tahun 2004 untuk studi SMA. Mama menunjukkan sikap lebih tegar, matanya hanya merah di depanku, entah bagaimana ketika aku sudah memasuki ruang tunggu bandara.

Aku pun berlanjut ke masa kuliah, dan aku menyelesaikan kuliahku selama enam tahun, atau 12 semester. Sebenarnya aku jadwal kuliahku tepat waktu, dan tidak seharusnya terlambat empat semester. Tetapi, pada tiga semester pertama, aku terlalu fokus pada pekerjaanku. Ya, aku mendapatkan jatah skripsi tepat waktu dan menambah kesibukan dengan bekerja part time. Setelah tidak kunjung bisa fokus menyelesaikan skripsi, selain masalah kerja ada juga masalah teknis lainnya yang tidak patut aku tuliskan di sini. Setelah aku berhenti kerja dan memutuskan untuk fokus skripsi, Alhamdulillah pada bulan Juni 2013 aku dinyatakan lulus dan berhak mengikuti wisuda.

Kemudian aku bekerja di sebuah PT berskala nasional dan ditempatkan di cabang Banjarmasin. Aku bersyukur bisa bekerja di ibukota Kalimantan Selatan, karena aku bisa pulang dua minggu sekali ke rumah dan mama papa pun senang. Tetapi selama 6 bulan kontrak, aku  memutuskan untuk berhenti dan mengikuti seleksi lain hingga membawaku kembali ke Yogyakarta.

Setelah aku merenungkan potongan paragraf dari buku "Ayahku (Bukan) Pembohong" di atas - aku membacanya saat ini di Yogyakarta, sedang dalam proses seleksi kerja, aku merasa sudah banyak mengabaikan waktu-waktu bersama mama, papaku. Aku juga melupakan canda tawa bersama mereka. Aku tidak lagi membantu mama dan papa ku di rumah. Aku tau aku rindu mereka, tapi aku lupa mengapa aku rindu mereka. Dan itu sangat menyakitkan :(

Mama dan papa semakin menua, seharusnya aku sadar sebagai anak pertama, mereka lebih membutuhkan perhatian dan kehadiranku di rumah daripada kedua adikku. Aku yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kebahagiaan mereka dari anak-anaknya. Adik pertamaku sedang kuliah di Yogyakarta dan baru menempuh semester tiga, sedangkan adikku kedua baru bersekolah kelas empat SD.

Aku sadar sudah terlalu lama jauh dari mereka, aku tau betul bahwa aku tidak memanfaatkan waktu-waktu ku untuk bersama mereka. Aku terlalu egois mengikuti ego dan keinginanku, memuaskan hasrat pribadi sehingga melupakan alasan kenapa aku rindu mereka. Aku tau aku rindu, tapi aku tidak tau kenapa rindu mereka. Menyakitkan bukan?

Semoga kalian yang membaca ini, bisa lebih menghargai waktu-waktu kalian bersama orang tua kalian sebelum semuanya terlambat. Selama mereka masih bernafas, gunakanlah waktu luang kalian untuk membahagiakan mereka. Kehadiran saja sudah menyenangkan mereka, apalagi jika kita ajak bercengkrama, jalan-jalan, berkumpul minum teh, makan malam bersama, membawakan hadiah kesukaan mereka.

Semoga mama papa, ayah ibu, bunda abah, abi umi, nyokap bokap, mommy papi, atau sebutan sayang lainnya untuk kedua orang tua kita, selalu sehat dan bahagia, bagi mereka yang sudah meninggal, semoga mereka ditempatkan di sisi TUHAN yang terbaik dalam kasih dan cinta TUHAN. Aamiin :)


Written by : Adetya M. Setiawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar