Like Us

Selasa, 05 Maret 2013

Analisis Taktik FC Barcelona vs Real Madrid Dalam Copa Del Rey

Tito Vilanova, Entrenador FC Barcelona
Takluknya FC Barcelona di dua partai besar terakhir membuat kini banyak yang mempertanyakan, “Apa yang salah di Barca?” Sekedar ketiadaan pelatih utamakah, kewajaran siklus pasang surut prestasikah, kehilangan motivasikah, atau karena strategi yang sudah semakin terbaca lawan yang jadi penyebabnya? Tiap poin tersebut bisa memiliki sudut pembenaran masing-masing, namun khusus untuk poin terakhir, sepertinya terdapat keterkaitan alasan teknis kekalahan antara AC Milan dan Real Madrid dalam sepekan terakhir.

Skema Taktik FCB vs RM

Secara formasi, Jose Mourinho di Madrid tidak meniru pola 4-3-3 yang dipakai oleh Massimiliano Allegri untuk Milan. Hanya terdapat persamaan bagaimana mereka menugaskan pemain tertentu melakukan pengawalan terhadap dua kunci pengolah bola Barca, yakni Xavi Hernandez dan Lionel Messi. Seperti halnya Sulley Ali Muntari ditugaskan oleh Allegri, peran yang sama dilakoni oleh Xabi Alonso pada laga yang digelar di Stadion Camp Nou, stadion kebanggan Barca, tersebut. Peran Xabi yang naik-turun mengikuti siapa diantara kedua ‘tuan’nya yang sedang mengolah bola tersebut menjadi bagian dari strategi Mou untuk merenggangkan jarak antar lini di kubu Madrid, sebuah situasi yang dariEl-Clasico pertama Mou hingga yang terakhir semakin terlihat.

Lalu apa gunanya Madrid merenggangkan jarak antar lini? Satu hal tentunya karena kebutuhan mereka untuk menyerang lebih gencar guna mengejar gol tandang akibat skor 1-1 yang dibawa dari putaran pertama. Yang kedua peran false 9 oleh Messi, telah dibuktikan Milan dapat dihentikan apabila pemasok bola di sekitar Messi dikunci lebih awal. Dengan mengunci Xavi oleh Xabi, ruang kosong yang diperoleh Messi di depan duet Raphael Varane dan Sergio Ramos menjadi tidak efektif karena bola tidak bisa dialirkan kepadanya. Terlihat bahwa sepanjang Xavi bermain, Madrid lebih memilih memprioritaskan pengawalan terhadapnya dimulai dengan memajukan posisi Xabi dan juga Sami Khedira hingga mendekati garis tengah lapangan.

Dalam skema Barca, Messi naik menusuk kotak penalti lawan (entah untuk menyambut umpan ataupun menggiring bola sendirian) ketika dua sayap yang mengapitnya bergerak menjauh dari Messi sambil menarik posisi bek tengah lawan. Melaksanakan skenario false 9demikian menjadi sulit saat melawan Madrid kemarin karena posisi Pedro Rodriguez terlalu melebar di kanan, sementara Andres Iniesta sering salah langkah saat hendak masuk dari kiri karena areanya diserempet oleh Cesc Fabregas. Dua nama terakhir ini sering ditemukan berada di antara Alvaro Arbeloa dan Varane di saat bersamaan. Ya, kalau dibandingkan dengan laga melawan Milan dimana posisi yang bersinggungan adalah antara Messi dan Pedro, maka di laga ini bisa disaksikan beberapa momen dimana posisi Iniesta dan Fabregas bentrok, bahkan saat salah satu diantara mereka sedang memainkan bola.

Permainan cepat disertai umpan langsung yang dikombinasi dengan kecepatan lari yang jadi ciri khas Madrid khusus untuk melawan Barca kembali dipertontonkan oleh para pemain Si Putih. Gol pertama dan kedua Madrid jadi pengesahan skenario ini. Khusus untuk gol pertama, terdapat sebuah hal menarik dari Madrid yang tidak ditampilkan oleh Barca. Gol tersebut dimulai dari kepungan Madrid terhadap sisi kiri Barca. Mesut Ozil melob bola melewati kepala Sergio Busquets, disambut Higuain untuk diteruskan melewati Carles Puyol sebagai bola wilayah kepada Ronaldo. Lalu kemana Angel di Maria yang diplot Mou sebagai sayap kiri Madrid? Memang kalau dibatasi pada tiga sentuhan terakhir sebelum penalti Ronaldo, tidak ada nama di Maria di sana. Namun begitulah rencana rapi disusun Mou, tiba-tiba saja pemain Madrid ramai di satu sisi lapangan. Ozil berlari horizontal dari tengah ke kiri, Ronaldo berlari diagonal dari kanan ke kiri. Di pihak lain, Barca tidak terlihat sedinamis tersebut pada malam tersebut.

Di laga terakhir kedua tim di bulan Februari tersebut, Barca jelas tidak efektif bermain di sisi sayap. Dani Alves, yang bermain cemerlang di babak kedua kontra Sevilla hari Sabtu sebelumnya saat melakoni peran ‘gantung’ sebagai sayap kanan dalam formasi 3-4-3, terlihat tak segarang biasanya. Dengan stamina berlebih setelah absen di jornada 25 kemarin, Jordi Alba di sisi kiri Barca-lah yang lebih rajin naik menjalankan operasi senyap menusuk pertahanan Madrid. Mou merespon kondisi ini dengan taktik yang berbeda. Biasanya, ia menukar posisi sayap kiri dan kanan yang dilakoni di Maria dan Ronaldo sepanjang pertandingan. Khusus di El-Clasico kemarin, di Maria murni beraksi sebagai sayap kanan Madrid (pengecualian untuk situasi bola-bola mati seperti gol kedua Madrid). Tampaknya ini dilakukan Mou mengingat absennya Alba di laga sebelumnya, sehingga dengan staminanya yang berlebih, perlu pengawalan di sisi yang sama dari pemain yang memiliki kemampuan bertahan lebih baik. Maka dipilihlah di Maria saja dibanding saling bertukar tempat.

Sebuah pengandaian muncul setelah laga. Bila starting-eleven Barca dirombak, seberapa besar Barca berpeluang meraih tiket final? Tak ada kepastian di sini, karena toh hukum dasar sepakbola bahwa bola itu bundar pasti tetap berlaku. Namun bila melihat Mou berani mencadangkan Pepe dan memilih Varane, yang notabene selama ini lebih banyak dipasang Mou untuk laga-laga kandang Madrid di Stadion Santiago Bernabeu dan baru kali itu menginjakkan kakinya di rumput Camp Nou, mengapa Jordi Roura terlihat begitu konservatif dengan sama sekali tidak mengganti skuad saat melawan Milan (pengecualian tentu untuk posisi Jose Pinto sebagai kiper)? Sepakbola memang kadang seperti judi, tapi nyali Mou untuk bereksperimen berhasil dibayar Varane dengan sebuah gol ketiga Madrid, mengulang yang dilakukannya untuk menyamakan skor pada laga pertama sebelumnya. Uniknya, pada proses gol Varane ke gawang Pinto di Bernabeu akhir Januari lalu dan gol terakhir Madrid di laga tersebut, Gerard Pique sebagai orang terdekat dengan Varane hanya bereaksi dengan melompat ke udara tanpa sedikit pun memberikan gangguan kepada pemain yang sedang menembak (baca: menyundul). Kejutan berupa rotasi belum menjadi skema unggulan Roura.

Kualitas pengambilan keputusan terkait timing oleh Roura belum teruji pada laga ini. Memasuki babak kedua laga, tidak ada pergantian pemain yang dilakukannya. Bahkan hingga sesaat sebelum masuknya David Villa yang dipicu oleh gol kedua Madrid, penempatan pemain dan gaya bermain oleh Barca masih merupakan pengulangan babak pertama. Villa sendiri hanya sesaat menikmati masa-masa indah di sayap kiri. Indah di sini dikarenakan Villa lebih fasih bermain sebagai sayap kiri dibanding sayap kanan. Maka, saat Cristian Tello masuk menggantikan Pedro, Villa bergeser ke kanan tanpa ancaman ke gawang Lopez.

Masuknya Villa dan Tello cukup menarik untuk menguji kecakapan Roura memimpin Barca di partai besar. Villa, sebelum benar-benar memasuki lapangan, sudah cukup lama melakukan pemanasan di pinggir lapangan. Mungkin ada sekitar lima menit dia tertangkap kamera berlari kecil sambil sesekali menatap ke tengah lapangan lewat sela-sela penutup kepalanya. Bila melihat situasi permainan di awal kedua hingga terjadinya gol kedua Madrid, harusnya sudah lebih awal ia masuk. Lain lagi dengan Tello. Saat namanya dicalonkan untuk pergantian berikut, ia baru terlihat bersiap-siap untuk memasangkan kaos kaki dan sepatunya. Entah apa yang sebenarnya terjadi di pinggir lapangan, namun nuansa kegugupan Roura lewat keragu-raguan pada situasi pergantian Villa dan ketergesaan pada Tello agak sulit ditepis.

Perlu diingat bahwa situasi sekarang bisa saja dikaitkan dengan ketiadaan pelatih utama Francesc ‘Tito’ Vilanova yang masih berada di New York untuk menjalani perawatan pasca operasi kanker yang dideritanya. Menyalahkan Roura sebagai penyebab kekalahan yang berawal dari strategi juga tidak tepat. Bagaimanapun Tito, selama dalam kondisi sehat melatih Barca, bisa menunjukkan prestasi yang penuh rekor bagi Barca setelah menjalani lima tahun asistensi bersama Josep ‘Pep’ Guardiola di Barca B dan tim utama. Sementara Roura, walaupun sudah berada di pusaran tim Pep sebelum ia mengundurkan diri, baru menjalankan peran pengambilan keputusan belakangan ini. Biasanya, ia hanya bertugas mengumpulkan dan menganalisa kekuatan tim lawan di era Pep.

Begitupun, satu hal harus selalu diingat bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Kekalahan Barca dalam seminggu ini dialami dari dua tim yang paling banyak dihadapi Barca musim lalu, Milan 4 kali dan Madrid 6 laga. Barca memperoleh mayoritas kemenangan dari total 10 partai tersebut. Milan dan Madrid telah belajar banyak ternyata. Barca? Ayolah belajar juga!

Visca Barca!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar